METODE PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Tafsir Tarbawi
Dosen Pembimbing : Moh. Dzofir, MAg
Disusun oleh :
1. Fina Roihah Almiskiyyah 111087
2. Sari Ulya Ningsih 111106
3. Ahmad Latif 111114
4. Nailin Ni’mah 111115
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Hal ini seluruh pendidik sudah maklum, namun masih saja di lapangan penggunaan metode mengajar ini banyak menemukan kendala.
Kendala penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor ; keterampilan guru belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana, kondisi lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga pendidikan yang belum menguntungkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang variatif.
Apa yang ditemukan oleh Ahmad Tafsir (1992 : 131) mengenai kekurangtepatan penggunaan metode ini patut menjadi renungan. Beliau mengatakan pertama, banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu meteri pelajaran, kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan materi yang rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan menganggap remeh mata pelajaran tertentu. Kenyataan ini menunjukan betapa pentingnya metode dalam proses belajar mengajar. Tetapi betapapun baiknya suatu metode tetapi bila tidak diringi dengan kemampuan guru dalam menyampaikan maka metode tinggalah metode. Ini berarti faktor guru juga ikut menentukan dalam keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar. Sepertinya kedua hal ini saling terkait.
Metode yang baik tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak lihai menyampaikannya. Begitu juga sebaliknya metode yang kurang baik dan konvensional akan berhasil dengan sukses, bila disampaikan oleh guru yang kharismatik dan berkepribadian, sehingga peserta didik mampu mengamalkan apa yang disampaikannya tersebut.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam di dalamnya memuat berbagai informasi tentang seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. Karena memang Al-Qur’an diturunkan untuk umat manusia, sebagai sumber pedoman, sumber inspirasi dan sumber ilmu pengatahuan. Salah satunya adalah hal yang berkaitan dengan pendidikan.
BAB II
SURAT AL-MAIDAH AYAT 67 DAN AN-NAHL AYAT 125
(Pendidikan Dalam Presfektif Al-Qur’an)
Metode Pendidikan dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pembelajaran dan metode mengajar.
Di bawah ini dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan metode pendidikan dalam presfektif Al-Qur’an terutama dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Surat An-Nahl ayat 125.
1. Surat Al-Maidah ayat 67
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
a. Mufrodat
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ = Hai Rasul
بَلِّغْ = Sampaikanlah
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ = Apa Yang Di Turunkan Kepadamu
مِنْ رَبِّكَ = Dari Tuhanmu.
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ = Dan Jika Tidak Kamu Kerjakan (Apa Yang Diperintahkan Itu)
فَمَا بَلَّغْتَ = Kamu Tidak Menyampaikan
رِسَالَتَه ُ = Amanat-Nya
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ = Allah Memelihara Kamu
مِنَ النَّاسِ = Dari (Gangguan) Manusia.
إِنَّ اللَّهَ = Sesungguhnya Allah
لَا يَهْدِي = Tidak Memberi Petunjuk
الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ = Kepada Orang-Orang Yang Kafir
b. Artinya
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” . c. Asbabun Nuzul
Ada beberapa riwayat dengan turunnya surat Al-Maidah ayat 67 ini diantaranya:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulallah Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah memerintahkan kepadaku, untuk menyampaikannya dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku”.
Maka turunlah ayat ini (QS.5:67) yang mempertegas perintah penyampaian risalah disertai jaminan akan keselamatannya. Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa Siti Aisyah menyatakan bahwa nabi SAW biasanya dijaga oleh para pengawalnya sampai turun ayat
“وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ (QS.5:67). Setelah ayat itu turun Rasulullah menampakan dirinya dari kubbah sambil berkata ; “Wahai saudar-saudaraku pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat tidur masing-masing. d. Pembahasan
Tersirat dalam Surat Al-Maidah ini mengandung makna bahwa menyampaikan risalah itu merupakan perintah Tuhan. Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan risalah kenabian kepada umatnya jika tidak maka nabi termasuk orang yang tidak menyampaikan amanat. Peringatan Allah kepada nabi mengakibatkan beliau sangat ketakutan sehingga dada nabi terasa sesak, saking beratnya tugas ini.
Kata-kata “baligh” dalam bahasa Arab itu merupakan pernyataan yang sangat jelas apalagi bentuknya fi’il “amr”. Dalam tafsir Al-Jalalin lafadz “baligh” terselip kandunganجميع (seluruhnya). Berarti nabi harus menyampaikan secara keseluruhan yang telah diterima dari Allah SWT. Tidak boleh ada yang disembunyikan sedikitpun dari Nabi (ولا تكتم شيئا منه ).Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa makna “baligh” dalam surat Al-Maidah merupakan fiil amr yang terkandung makna untuk menyampaikan seluruh yang diterima dari Allah SWT. Ibnu Katsir menulis : يقول تعالى مخاطبا عبده ورسوله محمدا – صلى الله عليه وسلم – باسم الرساله وآمرا له بإبلاغ جميع ما أرسله الله به7
(Allah berkata pada hamba dan rasulnya yaitu Muhammad SAW dengan konteks kerisalahan dan memerintahkan untuk menyampaikan seluruh yang datang dari Allah)
Bagi nabi tugas ini sangat berat karena merupakan tanggung jawab dunia akherat. Saking beratnya perintah ini, dalam peristiwa “haji wada”, nabi sekali lagi menegaskan tentang tugas beliau yang telah dipikulkan padanya. Ini artinya sebuah perintah harus dipertangggungjawabkan. Bagi seorang guru pada akhir tugas pembelajaran harus ada pertanggungjawaban sehingga diketahui oleh public atau masyarakat umum. Kisah ini diceritakan sangat indah oleh Ibnu Katisr dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 67 ini. Beliau menguraikan :
قال الزهري من الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التسليم وقد شهدت له أمته بإبلاغ الرسالة وأداء الأمانة واستنطقهم بذلك فى أعظم المحافل في خطبته يوم حجة الوداع وقد كان هناك من أصحابه نحو من أربعين ألفا كما ثبت في صحيح مسلم عن جابر بن عبد الله أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال في خطبته يومئذ:”ياأيها الناس إنكم مسئولون عني فما أنتم قائلون؟ قالوا نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت فجعل يرفع أصبعه إلى السماء منكسها إليهم ويقول اللهم هل بلغت 8
Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena ada dukungan lansung dari Allah maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah sebgai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir” . Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan :
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ = Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan. Beliau menulis dalam tafsirnya :
قيل: معناه أظهر التبليغ; لأنه كان في أول الإسلام يخفيه خوفا من المشركين, ثم أمر بإظهاره في هذه الآية, وأعلمه الله أنه يعصمه من الناس. 9
Arti “baligh” menurut Imam Al-Qurtubi lebih menampakan pada proses penyampaian amanah kapada masyarakat. Karena di awal penyebaran agama Islam nabi khawatir kepada orang-orang musyrik Makkah. Kemudian Allah memerintahkan untuk menampakan kerisalahan tersebut dengan diturunkannya ayat ini. Dan Allah memberitahu kepada nabi bahwa Allah akan menjaga keselamatannya. Bahkan bila nabi tidak menyampaikan ayat, menyembunyikan risalah dan amanat tersebut maka nabi dikatakan sebagai orang yang “kadzab”, berdusta. Dalam Al-Qur’an banyak memuat istilah-istilah komunikasi sebagai salah satu metode pembelajaran. Istilah-istilah tersebut adalah ; Qaulan sadidan (QS 4 : 9), Qaulan maysuran (QS 17 : 28), Qaulan Layinan (QS 20 : 44), Qaulan kriman (QS 17 : 23), Qaulan Mau’rufan ( QS 4 : 5 ) dan istilah ” Qaulan Balighon” ( Qs 4 : 63 ). Kata Qaulan Balighan di dalam Al-qur’an terdapat pada surat An-Nisaa ayat 63. Ayat ini mengisyaratkan mengenai prinsip-prinsip komunikasi sebagai sarana pembelajaran dan menyampaikan amanah. Ayat tersebut adalah :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا(63)
Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Kata “Baligh” dalam bahasa Arab atinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan qawl (ucapan), kata balig berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu prinsip qaulan balighan dapat diterjemahkan sebgai prinsip komunikasi yang effektif. Komunikasi yang efektif dan efisien dapat diperoleh bila memperhatikan pertama, bila dalam pembelajaran menyesuaikan pembicaranya dengan sifat khalayak. Istilah Al-Quran “fii anfusihiim”, artinya penyampaian dengan “bahasa” masyarakat setempat. Hal yang kedua agar komunikasi dalam proses pembelajaran dapat diterima peserta didik manakala komunikator menyentuh otak atau akal juga hatinya sekaligus. Tidak jarang di sela khotbahnya nabi berhenti untuk bertanya atau memberi kesempatan yang hadir untuk bertanya, terjadilah dialog. Khutbah nabi pendek tetapi padat penuh makna sehingga menyentuh dalam setiap sanubari pendengarnya.
2. Surat An-Nahl ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين
a. Mufrodat
ادْعُ = Serulah (manusia)
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ = kepada jalan Tuhanmu
بِالْحِكْمَةِ = dengan hikmah
وَالْمَوْعِظَةالْحَسَنَةِ = dan pelajaran yang baik
وَجَادِلْهُمْ = bantahlah mereka
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ = dengan cara yang baik
إِنَّ رَبَّكَ = Sesungguhnya Tuhanmu
هُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِمَنْ ضَلَّ = tentang siapa yang tersesat
عَنْ سَبِيلِهِ = dari jalan-Nya
وَهُوَ أَعْلَمُ = Dialah yang lebih mengetahui
بِالْمُهْتَدِينَ = orang-orang yang mendapat petunjuk
b. Artinya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
c. Makna Jumal
Makna umum dari ayat ini bahwa nabi diperintahkan untuk mengajak kepada umat manusia dengan cara-cara yang telah menjadi tuntunan Al-Qur’an yaitu dengan cara Al-hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah. Dengan cara ini nabi sebagai rasul telah berhasil mengajak umatnya dengan penuh kesadaran. Ketiga metode ini telah mengilhami berbagai metode penyebaran Islam maupun dalam konteks pendidikan.
Proses serta metode pembelajaran dan pengajaran yang berorientasi filsafat lebah (An-Nahl) berarti membangun suatu sistem yang kuat dengan “jaring-jaring” (networking) yang menyebar ke segala penjuru. Analogi ini bisa menyeluruh ke peserta didik, guru, kepala sekolah, wali murid, komite sekolah dan instasi lain yang terkait. Sehingga menjadi komponen pendidikan yang utuh, menjadi satu sistem yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.
d. Pembahasan
Pada awalnya ayat ini berkaitan dengan dakwah Rasulullah SAW. Kalimat yang digunakan adalah fiil amr “ud’u” (asal kata dari da’a-yad’u-da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil. Dalam kajian ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip dalam menggunakan metode dakwah yang meliputi hikmah, maudhoh hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar menjadi prinsip dari berbagai system, berbagai metode termasuk komunikasi juga pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal menjadi sebuah “metode”. Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greeka, yaitu “Metha” artinya melalui atau melewati dan “Hodos” artinya jalan atau cara.Dalam kajian keislaman metode berarti juga “Thoriqoh”, yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran. Adapun secara terminologi, para ahli pendidikan mendefinisikan metode sebagai berikut :
1) Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.
2) Abd. Al – Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.
3) Ahmad Tafsir mendefinisikan metode mangajar adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran. Ada beberapa landasan dasar dalam menentukan metode yang tepat dalam mengajar diantaranya diulas oleh Abu Ahmadi, beliau mengatakan bahwa landasan untuk pemilihan metode ialah :
a) Sesuai dengan tujuan pengajaran agama.
b) Sesuai dengan jenis-jenis kegiatan.
c) Menarik perhatian murid.
d) Maksud metodenya harus dipahami siswa.
e) Sesuai dengan kecakapan guru agama yang bersangkutan. Dalam tafsir Al-Maroghi dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dianjurkan untu meniru Nabi Ibrohim yang memiliki sifat-sifat mulia, yang telah mencapai puncak derajat ketinggian martabat dalam menyampaikan risalanya. Allah berfirman :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam surat An-Nahl (lebah) ayat 125 ini, terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah, pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu ;
1. Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar. Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal. Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang lemah lembut”. Beliau menulis dalam tafsirnya :
وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف, وهكذا ينبغي أن يوعظ
لمون إلى يوم القيامة 21
Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “dienullah” dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan. Hal ini berlaku kepada kaum muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran. Hal ini diinspirasikan dari ayat Al-Qur’an dengan kalimat “qaulan layinan”. Allah berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan berubah menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk berkembang.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Tobari adalah menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan kepada nabi. Ath-Thobari menguraikan :
22يقول بوحى الله الذى يوحيه اليك, وكتابه الذى نزله عليك بالحكمة )
Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan.Demikian pula dalam tafsir Al-Jalalain Al-hikmah diartikan dengan Al-Qura’nul kariem sebagai sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. An-Naisaburi menegaskan bahwa yang dimaksud Al-hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (Qoth’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan. Beliau menulis : (بالحكمة ) اشارة الى استعمال الحجج القطعية المفيدة لليقين24
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud dengan penyampaian wahyu dengan hikmah ini yaitu penyampaian dengan lemah lembut tetapi juga tegas dengan mengunakan alasan-dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran. Materi pembelajaran bermanfaat dan berharga bagi dirinya, merasa memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2. Mauidzah Hasanah
Mauidzah hasanah terdiri dari dua kata “al-Maudzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Ibnu Katsir menulis sebagai berikut :
والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم بها ليحذروا بأس الله تعالى25
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian.Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstranferan nilai. Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan kalimat مواعظه أو القول الرقيق artinya perkataan yang lembut. Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik. Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Ada banyak pertimbangan (multi approach) agar penyampaian materi bisa diterima oleh peserta didik diantaranya : a).Pendekatan Relegius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk relegius dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, b). Dasar Biologis, pertumbuhan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, c).Dasar Psikologis, metode pendidikan Islam bisa effektif dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual, d). Dasar Sosiologis, pendekatan social interaksi antar siswa, guru dengan siswa sehingga memberikan dampak positif bagi keduanya.
3. Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata “jadala” yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan28. Kalimat “jadala” ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلً)), dalam surat Az-Zukhruf ayat : 56, (َقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ). Kalimat “jadala” dengan berbagai variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109), (6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), (29:46), (31;20), (40 :4,5,32,56,69), 24:35), (43:58), (58:1). Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah” ( perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan)
Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiyah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya bahwa mujadalah ini adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut dalam berbicara, seperti firman Allah :
“ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم” الآية
فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلام حين بعثهما إلى فرعون في قوله “فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو ي خشى30″.
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika berdialog-diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil akhirnya dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang tersebut mendapat petunjuk atau tidak.Metode diskusi yaitu cara penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam kajian metode mengajar disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran, menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan dan bakat bawaannya.
An-Naisaburi memberikan ilustrasi bahwa mujadalah itu adalah sebuah metode “أي بالطريقة”. Diskusi (mujadalah) tidak akan memperoleh tujuan apabila tidak memperhatikan metode diskusi yang benar, yang hak sehingga diskusi jadi “bathal” tidak didengarkan oleh mustami’in. Metode mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan alasan yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem ini lebih cenderung ke “Student Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap perbedaan individu para peserta didik (individual differencies) bukan “Teacher Centre”.
I. PENUTUP
Al-Quran sebagai sumber segala sumber pedoman menjadikannya inspirator yang sangat kental dalam setiap gerak pemikiran umat Islam. Dalam berbagai bidang masyarakat muslim yang relegius akan selalu merujuk kepada wahyu sebagai firman Tuhan yang disampaikan melaluinya nabi-NYA.
Pendidikan merupakan salah satu sendi dalam beragama. Ajaran Islam bisa bertahan sampai saat ini salah satunya karena ada proses pendidikan disamping dakwah tentunya. Islam berkambang dan hidup mencapai masa keemasan (Islam Kalsik) karena ada tradsisi ilmiyah, tradisi intelektual dengan semangat mengamban amanat suci menyebarkan ajaran Islam ke penjuru dunia. Para da’i yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tersebut menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman baik dari segi orientasi, tujuan, cara atau metode penyampaian, media dan alat bahkan materi yang terkandung dalam penyampaiannya pun diambil dari Al-Quran.
Dalam surat Al-Maidah ayat 67 mengandung unsur perintah untuk menyebarkan agama Islam sebagai pedoman hidup. Ayat inilah yang memberikan motivasi kepada nabi untuk menyampaikan risalah kenabian. Ada ungkapan “Sampaikan ajaran Islam ini walaupun satu ayat”. ( بلغوا عنى ولو اية). Walaupun pada awalnya nabi merasa khawatir kepada kaum musyrikin Makkah namun karena ada dorongan dan perintah Tuhan (dan Tuhan telah memberikan jaminan keselamatan) maka nabi dengan keberanian menyampaikan risalah kenabian tersebut kepada umatnya.
Dalam menyampaikan risalah tersebut Nabi Muhammad SAW memperoleh pedoman yang sangat berharga yaitu berupa prinsip-prinsip dasar dalam metode menyampaikan materi ajaran Islam yang tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125. Ayat ini memuat tentang prisnsip-prinsip berdakwah ( mengajar, mendidik ) yang terdiri dari Al-Hikmah (arif-bijaksana bersumber dari Al-Qur’an), Maudzoh Hasanah (perkataan yang baik, lemah lembut) dan Mujadalah (diskusi, dialog bila perlu berdebat ).
Prinsip dasar ini berkembang menjadi beberapa inspirasi dalam konteks kekinian baik dalam bidang dakwah, komunikasi, public relition, pendidikan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan interaksi sesama manusia. Pendidikan sebagai salah satu bagian dari dakwah yaitu mengajak manusia dalam hal kebaikan dan mencegah keburukan tidak terlepas dari penggunaan beberapa prinsip tersebut di atas. Sehingga peserta didik bisa mendapatkan ilmu serta terjadi perubahan tingkah laku yang diharapkan dari setiap proses kegiatan belajar