Maicih mampu mengantongi omzet penjualan Rp4 miliar per bulan.
Dunia digital membuka peluang bisnis menggiurkan: menjadi kaya raya tanpa perlu menunggu rambut beruban. Bukan hanya bagi mereka yang mencipta aplikasi digital, tapi juga mereka yang memanfaatkan aplikasi tersebut.
Simak saja kisah Reza Nurhilman. Dengan keterbatasan dana membangun usaha, pemuda 23 tahun ini meraih sukses tak terkira berkat dunia maya. Ia memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sebagai media pemasaran.
Reza atau akrab disapa Axl adalah pemilik usaha keripik pedas 'Maicih', yang sempat membuat heboh remaja Bandung. Hanya setahun setelah meluncurkan usahanya di Twitter, ia mampu mengantongi omzet penjualan Rp4 miliar per bulan.
Berangkat dengan modal sekitar Rp15 juta, ia membuat permainan yang memancing penasaran Facebookers dan Tweeps. Ia merancang lokasi penjualan berpindah-pindah setiap hari, yang hanya dapat diketahui dengan melihat status Facebook (#maicih) atau Tweet Maicih (@infomaicih).
Strategi itu sukses. Keripiknya menjadi barang buruan. Konsumen harus mengantre berjam-jam demi mendapatkan keripik superpedas itu. Bahkan, antrean pernah memanjang hingga satu kilometer. "Strategi pemasaran sengaja saya pilih berpindah-pindah sehingga orang penasaran untuk selalu mengetahui di mana keripik Maicih nongkrong," ucapnya.
Di tengah kesibukannya sebagai Presiden Maicih yang memimpin puluhan Jenderal Maicih, mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Maranatha itu menyempatkan berbincang dengan VIVAnews di kampusnya, Bandung, beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Kapan usaha Maicih berdiri?
29 Juni 2010. Baru setahun, jadi masih bayi lah ya ...
Modal awal?
Kalau diakumulasikan di awal, modal yang dipakai cuma Rp15 juta. Itu untuk bahan baku, dan membuat tungku penggorengan. Karena kami tidak menggoreng pakai kompor, jadi rasanya pasti beda.
Omset saat ini?
Setiap bulan terus meningkat, dari omset yang hanya sedikit menjadi banyak. Saat ini, omset sebulan sudah menyentuh Rp4 miliar, dengan rata-rata per minggu lebih Rp750 juta.
Kemampuan produksi?
Sekarang itu produksinya sudah sampai 75 ribu bungkus per minggu. Itu semua varian dari kripik, jeblak, gurilem. Dan, selalu habis.
Butuh berapa banyak bahan?
Kalau gurilem dan jeblak pake tepung tapioka jadi literan. Kalau keripik satu ton itu bisa jadi 4.000 bungkus. Seminggunya bisa produksi sampai 25 ribu bungkus. Suplier kami juga bingung, kok permintaan kami bisa lebih banyak dari pada pabrik-pabrik besar, hehehe ...
Harga jualnya?
Regulasi di Bandung, keripik level 3-5, gurilam dan jeblak itu Rp11 ribu, untuk keripik yang level 10 Rp15 ribu. Di luar Bandung, keripik level 3-5, gurilam dan jeblak Rp15 ribu, yang level 10 itu Rp18 ribu.
Nama Maicih darimana?
Maicih itu terlahir waktu saya masih kecil. Biasanya, kalau saya dibawa mama ke pasar, suka ada ibu-ibu tua pake ciput dengan baju alakadarnya. Setiap belanja dia ngeluarin dompet, bonus dari toko emas yang ada resletingnya untuk masukin receh. Mama saya bilangnya itu dompet Maicih.
Beberapa tahun lalu, saya ketemu ibu-ibu yang sosoknya menyerupai Maicih dalam memori saya. Ibu-ibu paruh baya yang pakaiannya tradisional. Ternyata dia bisa bikin bumbu kripik pedas. Lalu, saya bikin brand Maicih. Ternyata bisa bikin orang lain suka, karena nyeleneh.
Jadi ibu-ibu itu yang buat?
Dulu. Sekarang kami sudah kelola semua. Dulu merger, kalau sekarang kami sudah punya pabrik sendiri, managemen, produksi, pemasaran pure kami kelola sendiri.
Kenapa memilih rasa pedas?
Emang sih ada risiko bolak-balik kamar mandi di awal kali coba, tapi kalau sudah biasa nyoba mah nggak akan, hehehe..
Kami memilih rasa pedas karena memberikan efek kecanduan apalagi untuk lidah orang Indonesia. Lagipula, produk ini sangat baik untuk kesehatan, fungsi jantung, dan detoksifikasi. Karena, rasa pedas Maicih dari rempah pilihan dan cabe tentunya, kami juga tidak pake bahan pengawet. Tapi, tetap bisa tahan sampai delapan bulan.
Keripik Maicih juga enak dimakan pake nasi, atau dicampur di lotek, mi rebus. Memang lebih enak kalau dikombinasikan dengan makanan-makanan lainnya.
Alasan pakai sosial media sebagai media pemasaran?
Awalnya, pemasaran Maicih melalui temen-teman saja. Temen SMA saya waktu itu beli, trus dia nge-tweet, "Maicih enak yah." Ya udah saya lalu fokus ke Twitter, running aja.
Ada banyak alasan kenapa pemasarannya hanya melalui Twitter dan Facebook. Selain gratis, promosi di Twitter bisa jadi gong karena kekuatan marketingnya dibuat orang-orang yang beli Maicih. Orang yang belum tahu Maicih akan bertanya dan mereka yang nge-tweet soal Maicih akan dengan antusias menjelaskan.
Mereka yang sudah merasakan Maicih punya testimoni masing-masing. Jadi, saya tidak usah capek-capek promosi. Dengan Twitter, promosi seperti bola salju, terus membesar.
Ada pengalaman buruk?
Paling cuma antrean yang panjang. Mereka rela mengantre walau hujan badai. Di setiap kota juga ngantre. Sekarang Jenderal-jenderal punya fans dan komunitasnya masing-masing.
Waktu kami launching produk gurilam di Braga Cafe. Mungkin kalau MURI tahu pasti dapet rekor antrean terpanjang karena antrean pada saat itu sampai satu kilometer, dari jam 5 sore sampai 11 malem.
Mengapa pakai konsep jualan nomaden?
Kalau buka toko tetap takutnya malah habis, pas orang jauh-jauh datang. Mereka kan tahunya pusat Maicih di Bandung. Pas habis, nanti kami didemo lagi. heheheh ...
Waktu awal-awal, saya sih masih pake sistem cash on delivery (COD), jadi dianterin, mau satu bungkus pun saya anterin. Waktu itu saya percaya, "Sekarang saya ngejar-ngejar konsumen, tapi nanti suatu waktu konsumen yang ngejar-ngejar saya." Dan, sekarang terbukti. Karena, memang addict sih yah.
Takut jadi euforia sesaat karena keunikan penjualan?
Nggak, karena beda mungkin ya. Kalau dibandingkan sama produk yang sempat fenomenal lainnya seperti salah satu es krim yang lagi 'hits'. Dari segi rasa, kalau orang penasaran sama produk tersebut pas dicoba sudah ilang penasarannya karena manis. Kalau pedas kan addict. Itulah seninya.
Akan ada penambahan rasa atau modifikasi rasa?
Prosesnya tidak sederhana. Sebelum membuat produk baru, kita harus lihat dulu antusias konsumen akan seperti apa. Jadi, sekarang masih fokus ke tiga varian ini.
Kami fokuskan dulu ke kuantitas, menstabilkan kuntitas di skala nasional. Karena, masih banyak penduduk yang belum mencoba. Jadi, secara keseluruhan kami belum kuat, masih harus menguatkan network. Pokoknya, di setiap kota di Indonesia harus ada Maicih.
Takut ditiru?
Kalau dari segi bumbu mah sulit. Tapi, kalau yang niru sekarang banyak. Kripik Maicih abal-abal ada sampai 30 produk. Yang pleset-plesetin banyak, ada 'Bukan si Emak', 'Maican'. Tapi saya tidak ambil pusing lah. Saya fokusin di produksi sama rasa saja.
Kami juga tidak hanya menjual keripik, tapi juga membangun network. Kami memantau produk dari Twitter karena kalau dari Twitter itu kan mudah mengetahui keluhan konsumen. Biasanya, keluhan konsumen itu, permintaan tempat penjualan. Jadi kami juga harus reset tempat. Ada data base untuk tempat yang belum ada Macih.
Takut ada reseller yang jual lebih mahal?
Pernah ada yang melakukannya. Jadi sekarang, penjualan ke konsumen kami batasi karena takut ada penimbunan dan mark up. Tidak kesampaian jadi Jenderal terus dijual dengan harga sesukanya. Jadi, dijatahnya tergantung kultur di kotanya masing-masing. Biasanya sih ada batasnya 5-10 bungkus.
Usaha Maicih dibantu berapa karyawan?
Kalau karyawan sendiri tidak terlalu banyak, untuk segi pekerja itu sendiri paling sekitar 10-an termasuk bagian packing, masak, pembuat bumbu, dan distribusi. Selebihnya agen, yang kami sebut Jenderal Maicih.
Kenapa agennya disebut Jenderal?
Nah, itu sebenarnya hanya marketing mix. Saya membuat bahasa marketing dengan nuansa yang berbeda supaya lebih menarik. Kalau saya sebutnya, "Ya ini agen Maicih," sepertinya kurang keren. Kalau disebut agen, seperti agen minyak dan kurang menjual. Bukan berarti mendeskritkan pekerjaan di luaran sana.
Saya sebut Jenderal agar value-nya bertambah, karena produk saya cuma keripik. Kami juga punya Menteri Perhubungan, yang megang jalur distribusi dan penjualan ke luar pulau. Saya seperti ingin membangun kerajaan sendiri.
Kerajaan sendiri, maksudnya?
Kami bukan konglomerasi, bukan PT besar, kami punya sistem sendiri. Kami ingin buat Republik Icih (RI). Ada menteri-menterinya. Selain Menteri Perhubungan, Menteri Pangan (produksi), Menteri Keuangan yang mengurus database, input, omset, dan outputnya, ada juga Panglima Jenderal.
Panglima Jendral itu adalah Jenderal pertama yang merupakan sahabat SMA saya. Beliau ini yang mengurus semua restock semua Jenderal di seluruh Indonesia. Sekarang juga kami sudah punya gudangnya sendiri, Alhamdulillah.
Syarat menjadi Jenderal?
Orang yang menjadi Jenderal dipilih yang memiliki intelektual baik, dan berkompeten. Dari segi SDM, kami nggak hanya asal menerima Jenderal, tetapi ada proses interview dan training. Kualitas mereka harus yang terbaik.
Jenderal bukan karyawan tapi mitra usaha. Mereka membeli lisensi untuk izin usaha. Jadi istilahnya, mereka adalah distributor atau agen resmi yang menjual kripik Maicih. Jadi bisa dipertanggungjawabkan.
Karena banyak yang mengatasnamakan Maicih atau memakai nama Maicih dengan cara yang tidak baik. Banyak konsumen yang dirugikan karena tertipu. Sementara Maicih yang asli itu hanya diinfokan oleh akun twitter @infoMaicih dan yang hanya dijual oleh para Jenderal.
Training Jenderal itu tentang apa saja?
Seputar caracter building, knowledge, sikap, serta bagaimana menyikapi bisnis ini ke konsumen. Karena, mereka tidak hanya menjual keripik, tetapi juga education.
Saya sendiri sering sharing knowledge di training. Saya yang mengurus training, jadi mereka juga siap sebagai pengusaha dari segi mental. Mereka tidak hanya jual beli putus, tapi juga bisa dibilang independent bussiness owner (IBO). Jadi, merasa sebagai pemilik Maicih di kotanya masing-masing.
Biasanya, setiap bulan, kami (saya dan para Jenderal) evaluasi perkembangan penjualan, atau bikin event.
Sekarang sudah berapa Jenderal?
Sudah ada sekitar 80-an di seluruh Indonesia. Mulai Februari 2011, sudah ada Jenderal di luar pulau Jawa. Ada di Papua, juga di dekat Nabire, dan Kalimantan.
Mereka tetap dituntut ke Bandung dulu sebelum mulai jualan. Kalau nggak, ya tidak satu visi. Mereka harus tahu dulu knowledge-nya seperti apa, mereka nggak hanya jual beli putus gitu, mereka harus ada loyalitasnya.
Kalau di Jabotabek, si Jenderal malah harus ke Bandung minimal sebulan sekali dan maksimal seminggu sekali. Jenderal-jenderal yang datang ke Bandung, biasanya mengambil barang sekaligus evaluasi, atau membuat setting penjualan di kotanya, objetive breakdown, atau bagaimana caranya dia menangani kasus per kasus saat dia memasarkannya.
Rekrutmen Jenderal pakai sistem angkatan. Kemaren itu batch 1, sekarang kami sudah mulai membuka batch 2. Kalau yang dulu, termasuk Jenderal sepuh itu temen-temen saya, sekarang sudah benar-benar open public.
Lisensi jadi Jenderal itu seperti apa?
Mereka harus membeli izin usaha sekali seumur hidup. Izin usaha ini membuat dia resmi sebagai jenderal. Lisensinya itu hanya sekitar Rp300-an ribu. Tapi, di awal mereka harus mengambil all varian minimal 3.000 bungkus, berarti Rp30 juta. Biasanya sih 3.000 bungkus sudah pasti habis seminggu.
Kenapa memilih bisnis makanan?
Jika kita ingin bangun usaha lebih baik fokus di bagian primer yaitu sandang, pangan, papan. Usaha sandang sebenarnya menjanjikan tapi di Bandung kan sudah banyak dan saya tidak punya skill disana. Selain itu, usaha sandang tidak ada repeat order karena konsumen kalau tidak beli, ya tidak akan mati.
Kalau bisnis papan seperti rumah, real estate, sangat menjanjikan karena setiap orang butuh tempat berteduh dan berlindung. Tapi, saya tidak punya modal. Kalau di pangan, tentu sangat menjanjikan. Kita mau buka restoran apa saja pasti laku. Tinggal bagaimana cara kita mempromosikan dan menyajikan produk yang berkualitas.
Latar belakang usaha?
Saya itu lulus SMU di tahun 2005, empat tahun saya menganggur, dalam artian tidak kuliah. Saya baru kuliah itu 2009. Dalam empat tahun menganggur, saya jual beli barang seperti elektronik, pupuk. Semua saya jual. Akhirnya saya punya produk yang tepat dan kendaraan yang tepat.
Saya lahir dari tiga bersaudara, anak paling bungsu, dari ekonomi keluarga yang biasa-biasa saja. Waktu lulus SMU itu, ekonomi keluarga benar-benar drop, jadi saya memutuskan untuk menunda kuliah karena tidak mau membebani orangtua. Saya tidak memiliki figur seorang ayah, jadi mama saya banting tulang, kerja keras untuk menghidupi tiga orang anaknya. Saya tidak tega membebani lagi dengan biaya kuliah. Jadi selama empat tahun mulai agak berhasil apalagi dengan adanya Maicih.
Jadi, jatuh bangunnya saya ini, sebelum saya memulai bisnis Maicih. Baru pas Maicih, mungkin momen dan waktunya tepat. Saya percaya Tuhan itu memberikan rezeki pada umatnya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu terlambat. Tepat pada waktunya.
Banyak orang yang mencibir mungkin tidak tahu kerja keras saya dalam membentuk bisnis ini. Sudah biasa. Jadi ya sudah tebal muka.
Mungkin kalau Maicih ini dipegang orang lain tidak akan sebesar ini. Banyak orang yang melihat teknik pemasaran Maicih ini, tapi sebenarnya poinnya itu ada di leadership, bagaimana membuat tim ini jadi loyal. Dari omset yang hanya sedikit menjadi banyak. Omset sebulan aja sudah 4 milyar, mana ada orang yang percaya kalau dulu saya seperti itu.
Pandangan 5-10 tahun ke depan?
Saya ingin pemasaran tidak hanya nasional tetapi go internasional. Sekarang sudah masuk sampai Singapura dan Jepang. Tapi sistemnya dikirim. Jendralnya TKI di sana. Kuantitasnya juga sudah lumayan walaupun nggak sebanyak di nasional, karena ongkos kirimnya juga mahal banget.
Saya juga ingin menjadi perusahaan multinasional karena kalau kuantitasnya sudah cukup besar saya ingin jadi PT. Tapi walaupun sudah jadi PT bukan berarti bisa dapet produk Maicih di mini market karena kami akan tetap menjaga sifat eksklusif si Maicih ini. Jadi, tetep Jenderal Jenderal yang memasarkannya.
Sebenarnya sih intinya supaya jendral-jendral ini bisa sejahtera sama-sama. Untuk itu, saya juga sudah memikirkan akan membuat Maicih Cafe dan di franchais kan. Menu makanannya untuk konsumen menengah ke bawah dan menengah ke atas. Mungkin, pizza pakai Maicih.
Tapi, di sana tidak akan menjual kripik per bungkus. Yang jual kripik Maicih bungkusan tetap Jenderal. Konsumen tinggal menikmati menu makanan di sana. Jadi, Jenderal-nya sekarang nabung. Ya, rata-rata Jenderal punya pemasukan Rp10 juta per bulan. Kalau mereka sudah punya tabungan cukup mereka dapat membeli franchais Maicih Cafe ini.
Tips anak muda untuk berbisnis?
Anak-anak muda itu harus jauh lebih yakin. Jika ingin menekuni sesuatu harus konsisten, ngotot, dan antusias. Kita harus semangat kalau kita punya sesuatu, kita harus yakin. Untuk menuju puncak itu memang tidak mudah, tidak semudah kita membalikkan telapak tangan, tapi ketika kita mengejarnya dengan yakin dan percaya, pasti akan tercapai.
Maicih berawal dari impian, jadi kerja keras untuk mencapai impian tersebut itu harus. Tidak mungkin kita hidup selalu bergantung pada orang lain. (eh)
Sumber