Seringkali pejuang moderisme, sekularisme, liberalisme dan feminisme menunding bahwa poligami merupakan pelecehan dan penghinaan martabat wanita serta melahirkan kekerasan psikologis terhadap wanita. Qosim Amin menyebut poligami sebagai praktik yang menjijikkan dan pelecehan bagi wanita. Alasannya bukan agama, tapi kodrat manusia. Ia menyebutkan tak seorang wanita pun ingin dimadu dan kalau seorang lelaki kawin dengan istri kedua, berarti sama sekali mengabaikan perasaan istri pertama. Amir Ali mengatakan bahwa poligami dalam tahap-tahap perkembangan sosial tertentu tidak bisa dihindari. Namun dengan kemajuan berfikir dan kondisi dunia yang selalu berubah, kebutuhan poligami sudah hilang, dan di beberapa negara muslim yang kondisinya tidak lagi membutuhkan poligami, poligami dipandang sebagai kejahatan dan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Nabi. Sementara Gerakan feminisme di Indonesia menuduh poligami telah melahirkan kekerasan di rumah tangga (KDRT). Shinta Nuriyah, Ketua Yayasan Puan Amal Hayati, menyatakan penolakannya terhadap praktik poligami, karena praktik tersebut bukan merupakan jaminan kebahagiaan, tetapi justru penderitaan dan permasalahan baru dalam kehidupan berumah tangga. Poligami, kata Shinta, berpotensi menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi perempuan dan anak-anak. Yang lainnya, Siti Musdah Mulia menyebut poligami sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Sementara itu, Faqihuddin Abdul Kodir peneliti Fahmina Institute Cirebon menyebutkan bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan.
Tundingan yang tak jauh berbeda pun dilakukan oleh Pak Cah yang menyebut poligami sebagai kekerasan psikologis terhadap perempuan dan pengkhianatan kepada istri. Pak Cah menulis, "Jangan sampai kita melakukan tindakan yang akan menyulitkan diri sendiri. Jangan sampai kita membuat keputusan yang bisa berdampak pendzaliman.......Jangan ada tindakan atas nama mengikuti sunnah yang menyebabkan sakitnya hati dan perasaan. Jangan ada tindakan atas nama melaksanakan syariat Allah yang memiliki dampak penzaliman pasangan hidup" (hal 57)."
Ia juga menulis, "Ia melakukan tindakan kezaliman kepada istri-istri, anak-anak dan pihak-pihak lainnya tanpa dia rasakan. Betapa egoisnya. Betapa banyak dosanya." (hal 153). Belum puas sampai di situ, di bagian kesimpulan Pak Cah masih menulis, "Pengingkaran terhadap perasaan pasangan akan berdampak melahirkan kezaliman. Pemaksaan kehendak akan melahirkan kekerasan. Bagaimana kebaikan dicampuradukkan dengan keburukan, bagaimana haq disandingkan dengan kebatilan? Jelas jelas tidak sama...jelas-jelas berbeda. (halaman 274)
Demikianlah potret gelap poligami yang dicoba ditanamkan Pak Cah dalam benak pembaca. Bahkan apa yang dikatakan Pak Cah jauh lebih tajam dari yang dikatakan gerakan feminisme. Pejuang feminisme, agak sedikit ‘sopan' dengan menggunakan istilah KDRT. Sedangkan Pak Cah begitu mudah dan entengnya menggunakan kata-kata dzalim, mendzalimi, tindakan pendzaliman dan kezaliman kepada pelaku poligami.
Bahwa fitrah wanita tidak suka dimadu adalah benar. Bahwa ketika suami menikah lagi akan ada istri yang kecewa dan sedih, adalah sangat mungkin. Namun fakta ini kemudian tidak bisa ditafsirkan bahwa ketika seorang suami menikah lagi ia serta merta telah melakukan kedzaliman. Bagaimana mungkin kita akan berani melemparkan tuduhan terhadap sesuatu yang syari'at memberi ruang untuk melakukannya? Saya yakin ketika syari'at menetapkan suatu hukum, di sana ada hikmah dan ruang penerimaan pada jiwa manusia. Pada mulanya mungkin terjadi penolakan. Di awalnya boleh jadi ada perasaan sedih. Jiwa terasa sempit. Namun dengan berlalunya waktu ruang penerimaan itu melebar dan melalui mekanisme penyesuaian diri akhirnya ia bisa menerima kenyataan bahwa ada istri lain di samping suaminya. Maka, dalam kenyataannya tidak sedikit wanita yang bisa menjalani kehidupan poligami dengan beberapa istri dari suaminya baik sebelumnya ia tahu maupun tidak tahu proses pernikahan suaminya berikutnya. Hal ini sangat mungkin karena Allah yang menetapkan syari'at, Maha Mengetahui jiwa wanita. Tidak mungkin Allah membolehkan sesuatu yang akan merusak dan menghacurkan jiwa manusia. Terlebih-lebih bagi wanita yang beriman, dia akan mengimani seluruh ketentuan Allah baik yang ringan maupun yang berat dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.
Adanya perasaan umum pada diri wanita seperti kecemburuan dan ketidaksukaan untuk berbagi suami tidaklah harus menyebabkan terhalangnya pelaksanaan suatu syari'at. Ada beberapa perintah Allah dan Rasulullah yang secara fitrah manusia tidak menyukainya. Sebutlah perang atau peperangan. Fitrah manusia menginginkan kehidupan yang damai dan tenang. Namun demikian, dalam situasi tertentu Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk berperang. Allah berfirman:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.(Al-Baqarah: 216)
Jelas peperangan sangat dibenci manusia. Peperangan akan meninggalkan kesedihan dan luka yang dalam. Akan ada istri yang kehilangan suami, tidak hanya sehari atau dua hari, tetapi selama-lamanya. Akan ada orang tua kehilangan anak, dan sebaliknya anak menjadi yatim kehilangan orang tua. Namun sebagai orang beriman, kita berlindung dari ucapan bahwa kewajiban berperang adalah sebentuk pengingkaran terhadap perasaan manusia yang akan berdampak melahirkan kedzaliman. Bukankah Allah Tuhannya manusia lebih mengetahui apa yang terbaik untuk manusia? Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Demikian pula, ujian kesedihan dan kepedihan berupa kekurangan dan kehilangan harta benda, ditinggal mati oleh orang-orang yang kita cintai adalah fragmen hidup yang akan dihadapi manusia kapan dan di mana pun. Firman-Nya:
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun."
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 155-157)
Jadi ujian hidup dengan segala bentuk dan sifatnya adalah milik siapapun. Bagi istri Zubair bin Bakar misalnya, kecintaan suaminya kepada buku-buku lebih berat membebani hatinya daripada dimadu dengan tiga istri sekaligus. Bagi yang lainnya, mungkin merasa lebih baik suaminya menikah lagi tapi hidup berkecukupan, daripada kehidupan dalam kondisi serba kekurangan.
Oleh karena ujian hidup adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari, maka setiap orang biasanya mempunyai mekanisme diri untuk menghadapi berbagai kesulitan dan tekanan yang dihadapi dalam kehidupan ini. Sebagiannya rahasia ini tersimpan dalam diri manusia itu sendiri berupa keyakinan, ideologi, pemahaman, pengalaman, cita-cita dan spirit untuk survival. Sebagiannya lagi berasal dari lingkungan eksternalnya, berupa dukungan keluarga, teman dan masyarakat luas. Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhirat sekalipun, bisa tahan menghadapi kehidupan yang berat, kehidupan di penjara atau di pengasingan misalnya, demi memperjuangan ideologinya atau cita-citanya.
Terlebih-lebih lagi orang beriman, selalu punya mekanisme untuk mengendalikan perasaan-perasaannya, tekanan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Selama ia yakin berada pada jalur yang benar, dengan bekalan agama yang dipahaminya berupa sabar, istiqomah dan tawakal, keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkannya, bahwa akan selalu ada jalan keluar, akan melekat pada dirinya. Di balik musibah dan kesulitan, orang beriman selalu percaya ada rahasia dan hikmah yang mungkin baru diketahuinya di kemudian hari, atau bahkan baru diketahuinya di hari perhitungan kelak. Ya, ada orientasi akhirat pada diri orang beriman, sehingga stamina dan daya tahannya menghadapi musibah, kesulitan dan tekanan fisik maupun psikologis jauh lebih dasyat dibanding orang yang tidak beriman.
Jadi, ketika seorang wanita beriman dimadu, yang menurut Pak Cah adalah musibah terbesar bagi wanita, tanpa harus membunuh sifat-sifat kewanitaannya, seharusnya seorang muslimah kemudian bisa mereposisi dan menata perasaannya agar tidak sampai melakukan sesuatu yang dibenci Allah SWT (Di sini kita tidak sedang bicara suami yang tidak bertanggung jawab, sebab suami yang tidak bertanggung jawab tidak hanya bencana bagi keluarga poligami, juga bencana bagi yang keluarga dengan hanya satu istri).
Peran lingkungan di sini pun sangat besar. Keluarga, saudara, teman, kolega atau siapapun juga setidak-tidaknya bisa memberi penguatan-penguatan, kalaupun tidak bisa memberi apresiasi kepada para istri yang menerima suaminya menikah lagi, bukan justru -seringkali didorong ketidaksukaannya melihat keluarga poligami yang berhasil- melakukan tindakan demoralisasi dan memanas-manasi suasana. Namun kejadiannya seringkali tidak demikian. Ketika ada seorang istri yang menerima suaminya menikah lagi, orang malah menghakimi bahwa penerimaan itu hanya penampakan luar, sedang hatinya sesungguhnya hancur. Padahal tidak ada yang tahu persis isi hati seseorang kecuali Allah.
Pemasalahannya sepertinya tidak selesai di sini. Karena Pak Cah masih punya dalih bahwa istri kita bukanlah ‘Aisyah. Dia menulis, "Istri kita tentu tidak sekualitas Aisyah yang sangat mendukung semua keputusan Nabi saw, termasuk keputusan beliau untuk berpoligami." (halaman 204).
Saya setuju dengan kalimat ‘Istri kita tentu tidak sekualitas Aisyah', namun saya tidak sepakat dengan prasa ‘yang sangat mendukung semua keputusan Nabi saw, termasuk keputusan beliau untuk berpoligami'. Statemen ini menunjukkan Pak Cah berpura-pura tidak memahami sisi kejiwaan manusia dan tidak membaca sejarah secara benar atau sengaja menyembunyikan fakta sejarah. Benar ‘Aisyah adalah wanita istimewa dengan segenap keutamaannya dan kemuliaannya. Imam Az-Zuhri berkata, "Sekiranya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan, dan dibandingkan dengan ilmu-ilmu istri-istri Nabi yang lain, dan ditambah dengan ilmu dari semua wanita, tentulah ilmu ‘Aisyah lebih utama. "Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari kakeknya, dia berkata, "Belum pernah saya melihat seorang wanita yang lebih mengetahui ilmu fiqih, kedokteran dan syair, melebihi ‘Aisyah." Demikian pula dalam meriwayatkan hadits, ‘Aisyah jauh melampaui istri-istri Nabi yang lain. Para perawi menyebutkan bahwa ‘Aisyah telah meriwayatkan sekitar 2.210 hadits diikuti Ummu Salamah yang meriwayatkan sekitar 378 hadits. Tetapi di balik semua kemuliaan dan keutamaannya, ‘Aisyah tetaplah seorang wanita dengan segenap sifat kemanusiannya dan sifat bawaan sebagai wanita. Ia memiliki rasa gembira, rasa sedih, rasa cemburu, rasa senang, rasa tidak suka, rasa sakit, rasa marah, dan perasaan lain sebagaimana manusia biasa lainnya. Ini sangat manusiawi dan tidak ada yang tercela. Rasulullah pernah berkata kepada ‘Aisyah, "Aku tahu saat engkau senang kepadaku dan saat engkau sedang marah kepadaku." ‘Aisyah menjawab, "Dari mana engkau mengetahuinya?" Beliau menjawab, "Kalau engkau sedang senang kepadaku engkau akan mengatakan dalam sumpahmu; 'tidak demi Tuhan Muhammad!' Akan tetapi jika engkau sedang marah kepadaku, engkau akan bersumpah; 'tidak, demi Tuhan Ibrahim!' ‘Aisyah menjawab, "Benar, tetapi demi Allah ya Rasulullah, aku tidak meninggalkan kecuali namamu saja."
Terkait dengan sifat cemburu, rasa sedih dan kecewa ‘Aisyah terhadap pernikahan Nabi dengan istri-istri lainnya, ‘Aisyah sendiri mengungkapkannya dan semua itu tercatat rapi dalam sejarah. ‘Aisyah mengakui kecantikan Juwairiyah dan ketidaksukaannya ketika Juwariyyah datang menemui Nabi. ‘Aisyah menuturkan, "Ia adalah wanita yang cantik jelita. Siapa saja yang melihatnya akan tertarik. Oleh karenanya, ketika ia datang meminta pertolongan kepada Rasulullah untuk membebaskan dirinya, demi Allah ketika aku melihatnya dari pintu kamarku, aku merasa tidak senang, sebab aku mengetahui bahwa Rasulullah akan melihat Juwairiyah apa yang aku lihat."
Tentang Mariyyah, ‘Aisyah berkata, "Saya tidak pernah mencemburui seorang wanita lebih dari cemburu saya kepada Mariyyah. Bagaimana tidak, dia cantik, rambutnya keriting, disenangi Rasulullah. Mula-mula dia datang ditempatkan di rumah Haritsah binti Nu'man yang jadi tetangga kami, lalu hampir tiap hari setiap malam Rasulullah berada di sana, dan saya jadi gelisah, lalu Rasulullah memindahkan Mariyyah ke Aliyyah. Maka kami merasa lebih pedih lagi. Kemudian dia dianugerahi anak oleh Allah, sedangkan kami tidak dianugerahi."
Tentang perasaan sedih, dalam catatan sejarah yang ditulis Ibnu Hajar, ‘Aisyah pernah mengungkapkannya ketika Rasulullah menikahi Ummu Salamah. ‘Aisyah berkata, "Ketika Rasulullah SAW menikahi Ummu Salamah, saya merasa sangat sedih, karena orang-orang menceritakan kecantikannya kepada kami, maka saya berlaku lemah lembut, sehingga saya dapat melihatnya, maka saya lihat kecantikannya melebihi berita yang sampai kepada saya."
Adapun tentang keresahan dan perasaan susahnya, bisa dilihat atas ungkapannya atas pernikahan Rasulullah dengan Zaenab binti Jahsy. ‘Aisyah berkata, "Saya merasa susah karena yang dekat dan yang jauh, karena berita yang sudah sampai kepada kami tentang kecantikannya dan juga tentang perkara terbesar dan termulia yang telah dibuat Allah terhadap dirinya. Allah telah menikahkan dirinya dengan Rasulullah dan dia pasti akan membanggakan dirinya dihadapan kita."
Demikian juga istri-istri Rasulullah yang lain. Salah seorang istri beliau bahkan pernah mendiamkan beliau seharian penuh. Sungguh, di antara istri-istri beliau pernah ada yang memprotes beliau. Ketika istri Umar RA memprotes Umar, Umar berkata, "Apakah Engkau hendak memprotesku?" istrinya menjawab, "Sungguh, istri-istri Rasulullah pernah memprotes Beliau, padahal jelas Beliau jauh lebih baik daripada kamu."
Jadi sekali lagi pernyataan Pak Cah di atas terlalu mengada-ada dan a-historis. Andai saja ‘Aisyah mendukung keputusan poligami Rasulullah, tentu dia tidak akan mengungkapkan perasaan-perasaannya sebagaimana yang telah ditulis dalam sejarah oleh para ulama berabad-abad yang lalu. Yang dapat kita katakan adalah secara fitrah kewanitaan, ‘Aisyah tidak menghendaki adanya wanita lain di sisi Rasulullah, namun sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dia harus menerima kenyataan bahwa kemudian hadir Ummahatul Mu'minin lain di rumah Rasulullah SAW. Ini saya kira lebih realistis, sebab terbukti dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun tidak terhindar adanya kompetisi sesama istri Rasulullah SAW.
Pertanyaannya kemudian, apakah berani Pak Cah dan pejuang feminisme mengatakan bahwa Rasulullah telah melakukan kekerasaan rumah tangga atau dalam bahasa Pak Cah tindakan kedzaliman, karena membuat ‘Aisyah sedih dan kecewa dengan pernikahan Rasulullah dengan wanita-wanita lain? Apakah Pak Cah berani mengatakan Rasulullah berkhianat kepada ‘Aisyah? Bagi musuh-musuh Islam target itu memang yang diharapkan, membuat citra buruk pada diri Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa tidak ada maksud Pak Cah untuk menghina dan merendahkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Namun sebagai seorang Muslim, Pak Cah seharusnya berhati-hati dalam membuat pernyataan, jangan sampai ketidaksukaannya kepada poligami dan pelaku poligami membuatnya menulis hal yang pada akhirnya memberi kesan negatif dan buruk kepada Rasulullah dan sahabat, sesuatu yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam dan Nabinya.