1. Paradigma Bangsa (yang paling mendasar): Pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) merupakan paradigma yang memandang lautan dan selat sebagai pemisah, bukan penghubung.
Artinya, kehadiran jembatan justru menuntut adanya jembatan tambahan agar connectedness kedua pulau dapat dipertahankan . Berbagai persoalan seperti antrean panjang di kedua pelabuhan (Merak-Bakahueni) adalah dikarenakan sedikitnya ferry yang beropersai secara maksimal, banyak kapal yang bahkan sudah habis masa ekonomis berlayarnya (kapal tua dan bekas) sehingga lebih sering diperbaiki daripada berlayar, makanya banyak antrean...
Ane liat sendiri gan karena ane tinggal di Lampung dan kuliah di Jawa. Seperti ini kondisinya:
Solusinya adalah paradigma kepulauan yang membuka relaxed design domain tanpa mengubah ruang topologi landmass yang sudah ada. Solusi untuk relaxed design domain itu adalah kapal (penyeberangan/ferry), yang teknologi generasi terkininya sudah tersedia dan well-proven. Air laut bersama sistem ferry canggih ini membentuk jembatan alamiah dalam jumlah tak-terbatas sehingga mempertahankan connectedness kedua pulau. Ilmuwan dan engineer kita sudah punya capabilitas buat mewujudkan sistem ferry canggih seperti di Eropa asal pemerintah bisa memfasilitasi.
Seperti ini gan:
2. Gengsi atau Fungsi??
Solusinya adalah paradigma kepulauan yang membuka relaxed design domain tanpa mengubah ruang topologi landmass yang sudah ada. Solusi untuk relaxed design domain itu adalah kapal (penyeberangan/ferry), yang teknologi generasi terkininya sudah tersedia dan well-proven. Air laut bersama sistem ferry canggih ini membentuk jembatan alamiah dalam jumlah tak-terbatas sehingga mempertahankan connectedness kedua pulau. Ilmuwan dan engineer kita sudah punya capabilitas buat mewujudkan sistem ferry canggih seperti di Eropa asal pemerintah bisa memfasilitasi.
Seperti ini gan:
2. Gengsi atau Fungsi??
Dana pembangunan JSS pada awalnya diperkirakan Rp.117 Triliun!!!
Sebuah angka yang mencengangkan bukan? Dan perhitungan yang lebih baru meningkat menjadi Rp.250 Triliun dengan masa pembangunan 10 tahun.
Sebuah angka yang mencengangkan bukan? Dan perhitungan yang lebih baru meningkat menjadi Rp.250 Triliun dengan masa pembangunan 10 tahun.
Sedangkan untuk feaseability study (pengkajian sebelum dibangun) butuh dana USS 140.000.000! Pihak manajemen PT Bangungraha Sejahtera Mulia selaku konsorsium pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) secara gamblang menyatakan bahwa pengembalian modal investasi akan sangat sulit dilakukan kecuali tiap pengendara dikenakan tarif toll sebesar Rp.5.000.000 !!! (aje gile..). Berdasarkan pengalaman Jembatan Suramadu dengan panjang 5km saja dan bentang terpanjang hanya sekitar 500m, biayanya membengkak menjadi Rp. 5T dan waktu pembangunannya molor 1 tahun.
Jika dihitung-hitung, lebih baik membangun jalan tol atau rel kereta api sepanjang Sumatera dengan biaya yang jauh lebih murah dan dampak yang jauh lebih besar. Jalan lintas Sumatera yang masih compang-camping bisa dijadikan prioritas pembangunan, lagipula jika JSS dibangun tanpa jalan raya pendukung yang baik, apa perekonomian regional bisa lebih baik??
Pembangunan sistem ferry canggih dan kapal cepat yang nyaman akan lebih menghasilkan sebuah transportasi penghubung yang very-cost effective. Dengan investasi hanya 10% JSS saja, sistem transportasi laut kita akan bisa sejajar dengan negara-negara di eropa. Hal ini juga akan memicu kemajuan penguasaan teknologi dibidang kelautan yang saat ini masih terseok-seok dan kurang diperhatikan. Ironis, perairan seluas ini tapi jumlah kapal pengangkut antar pulau masih minim. Bagaimana mau membuat kapal perang tangguh, apalagi kapal selam..? Lha kapal penumpang aja masih pada suka beli yg second (bekas dan berkarat).
Berikut ini gambaran lansekap desain JSS:
Dari gambar diatas...Perlu diingat juga, bahwa jembatan2 besar yang pernah dibangun di dunia berada dikawasan yang jauh lebih stabil jika dibandingkan dengan kawasan selat Sunda. Karena kontur sea-bed yang rumit dengan kedalaman yang bervariasi dari -40m hingga -80m lebih, peluang terjadinya ground acceleration (tiang jembatan mengalami penurunan) hingga 0,3g akibat gempa tektonik, serta ancaman erupsi vulkanik Krakatau, maka rancangbangun dan pembangunan JSS akan amat mahal bagi kemampuan fiskal nasional RI hingga 10-20 tahun ke depan. Pakar jembatan perguruan teknik terkemuka di Bandung mengungkapkan bahwa pembangunan JSS harus melalui palung laut selebar 2-3km di jalur Pulau Jawa dan Pulau Sangiang (selat sunda).Hal ini sangat mengkhawatirkan, selain belum ada jembatan di dunia dengan pajang bentang tengah lebih dari 700m dengan beban pondasi sebesar 14.400.000 Knm (Kilo newton meter), proyek yang terlalu ambisius ini terlihat lebih mementingkan aspek kebanggaan daripada fungsi dan resiko jangka panjangnya. Jangan takabur melawan alam...Titanic yg diklaim gk bisa tenggelam aja justru kandas di dasar samudera pada pelayaran perdana nya...
3. Perbandingan Empirik Mega Proyek di Dunia
Segmen JSS yang terpanjang akan menuntut bentang suspension bridge yang terlalu panjang (sekitar 3500m) bagi teknologi jembatan yang kita kenal secara global saat ini. Jembatan terpanjang saat ini adalah Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang yang menghubungkan Kobe di Pulau Honshu dan pulau Awaji. Panjang bentangnya 1991m, dan panjang total “hanya” 3911m, clearance 66m, dibangun selama 12 tahun (1986-1998). Sekarang jembatan ini menampung traffic 23000 mobil/hari, dengan tariff toll mencapai Y 2300 (sekitar Rp. 250.000). Jembatan ini tidak mengakomodasi kereta api.
Ini penampakannya:
Sementara itu, desain JSS harus mengakomodasi syarat-syarat Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 1) sebagai sebuah kesepakatan internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea -UNCLOS) yang telah kita ratifikasi. Ini adalah perjanjian Internasional yang sudah disetujui Indonesia bahwa selat sunda adalah jalur pelayaran Internasional sehingga semua jenis kapal harus bisa lewat (termasuk kapal induk dan kapal dengan deck dan tiang yang tinggi), ini juga berarti penampang tengah jembatan harus lebih tinggi dari jembatan2 yg ada di dunia gan.
Sementara itu, Jembatan Messina yang menghubungkan mainland Italia (Calabria) dengan Messina di pulau Sicilia dibatalkan pembangunannya pada tahun 2006 setelah terjadi debat dan kontroversi bertahun-tahun antara Pemerintah, parlemen, dan masyarakat mainland Italia maupun kelompok-kelompok nasionalis Sicilia. Bentang tengah jembatan ini akan menjadi yang terpanjang nomor dua di dunia (setelah JSS), yaitu sepanjang 3300m, clearance 65m, dan tinggi pylon mencapai 383m ! Biaya yang direncanakan adalah sebesar Euro 6,1M, atau sekitar Rp. 70T. Pemerintah Italia (sebelum PM Berlusconni) membatalkan rencana ini karena memandang perbaikan prasarana jalan di P. Sisilia sendiri jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi regional Italia.
Penampakan Jembatan Messina:
Banyak proyek-proyek besar di negara-negara maju dan kaya (dengan disiplin waktu dan kapasitas fiskal yang jauh lebih baik dari Indonesia) selalu berakhir dengan cost-over run dan keterlambatan. Bukannya kita tidak percaya kita bisa bangun jembatan, tapi dengan kondisi bangsa yang kondisi ekonomi dan pembangunan yang belum merata ini. Sebaiknya bisa jadi pertimbangan pemerintah ...
4. Pembangunan Nasional yang tidak seimbang:
Pembangunan JSS semakin memperlihatkan ketimpangan antara wilayah Barat Indonesia dengan wilayah Timur Indonesia. Bayangkan dengan kondisi rakyat dan prasarana yang masih sangat minim di kawasan timur RI, tidakkah sebaiknya lebih didahulukan membangun infrastruktur di kawasan timur? Perekonomian kawaan timur (Papua, Sulawesi, Maluku, dll) jelas akan semakin terangkat apabila didukung infrastruktur yang memadai. Lebih baik membangun instalasi listrik, jalan, dan angkutan laut yang lebih baik untuk kawasan timur dengan biaya yang juga jauh lebih rendah.
Sumber
Sumber