Sejarah Hidup Muhammad SAW (4) : Pemilik Gelar Al-Amin
Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing. Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad."
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi.
Bukankah dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.
Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.
Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan.
Sesudah itu, Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa binti Munya—kata sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."
Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.
Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.