Pages

Catatan Tentang Poligami (I)

Poligami sesungguhnya bukanlah isu yang menarik. Poligami telah menjadi bagian dari sejarah kemanusiaan sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Poligami telah tumbuh dan diterima dalam kultur manusia di barat maupun di timur, utara maupun selatan. Hampir semua bangsa-bangsa di dunia, Yunani, Cina, India, Siria, Babilonia, Mesir, Persia, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria, Belanda, Denmark, Norwegia, Afrika, Asia dan lain-lain mengenal dan mempraktikkan poligami. Dalam undang-undang Likai di Cina, poligami dibolehkan sampai 150 istri. Bahkan salah seorang raja di Cina mempunyai 30.000 istri. 




Demikian pula agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani tidak mempersoalkan poligami. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami dalam Injil, sehingga praktik poligami pun sesungguhnya sudah dikenal dan dipraktikkan kalangan Nasrani dahulu. Westermarck, pakar sejarah perkawinan, mengatakan bahwa poligami diakui gereja hingga abad ke-17 masehi dan hal itu terus berulang pada keadaan-keadaan yang diawasi gereja dan Negara. Meskipun pada perkembangan berikutnya kaum Nasrani memegang teguh konsep satu istri, namun beberapa sekte, di antaranya sekte Mormon, meyakini bahwa poligami adalah aturan Tuhan yang suci dan mereka mempraktikkan poligami sampai hari ini.


Demikian pula kaum Yahudi membolehkan poligami tanpa adanya batasan jumlah. Dalam Taurat disebutkan bahwa Nabi Daud AS beristrikan 99 orang, sedangkan putranya Nabi Sulaiman AS, mempunyai 700 istri wanita merdeka dan 300 istri dari kalangan budak.


Poligami bahkan juga telah dipraktikkan oleh para utusan Allah jauh sebelum Muhammad SAW lahir. Nabi Ibrahim AS, penghulu para Nabi diketahui memilik dua orang istri, yaitu Sarah dan Hajar. Demikian pula Nabi Ya'kub AS, Nabi Daud AS dan Nabi Sulaiman AS.


Bagi masyarakat Arab, poligami juga bukanlah tradisi baru, atau kebiasaan baru. Bangsa Quraisy telah mengenal dan melakukan poligami sebelum ayat yang berbicara poligami turun. Ghilan bin Salamah Ats-Tsaqofi ketika masuk Islam telah memiliki sepuluh orang istri, Naufal bin Mu'awiyyah lima orang istri dan Tsabit bin Qais mempunyai delapan orang istri sebelum memeluk Islam.


Jelas bahwa masyarakat di mana Al-Qur'an diturunkan dan juga masyarakat di belahan dunia lainnya tidak saja menerima poligami, bahkan mempraktikkan poligami dalam kehidupan mereka dengan berbagai sebab dan alasan. Bahkan kalau kita perhatikan Nabi Muhammad SAW pun telah berpoligami sebelum ayat yang berbicara poligami turun.


Oleh karenanya, kita bisa memahami mengapa ketika ‘Aisyah ditanya mengenai tafsir surat An-Nisa ayat tiga, ia tidak menyinggung masalah poligami tetapi lebih pada masalah yatim; harta, pengasuhan, dan motif menikahinya.


Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah Ibnu Zubair RA pernah bertanya kepada ‘Aisyah RA tentang firman Allah
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa: 3)
‘Aisyah menjawab, "Wahai anak saudara wanitaku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Ia campurkan hartanya dengan harta walinya, lalu si wali itu tertarik kepada harta dan kecantikannya. 

Kemudian si wali itu hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak sebagaimana biasa yang diberikan oleh orang-orang lain. Karena itu, mereka dilarang menikahi wanita-wanita yatim itu kecuali dengan berlaku adil kepadanya dan memberikan maskawin sebagaimana yang berlaku, serta diperintahkanlah mereka untuk menikahi wanita-wanita lain." Urwah mengatakan bahwa ‘Aisyah berkata, "Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah SAW sesudah turunnya ayat ini, lalu Allah menurunkan ayat 127 surah An-Nisa :
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.(An-Nisa: 127)
‘Aisyah berkata, "Firman Allah dalam ayat yang terakhir ini ...sedang kamu ingin menikahi mereka, ialah keinginan salah seorang dari kamu terhadap wanita yatim yang hartanya sedikit dan tidak seberapa cantik. Maka, mereka dilarang menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan harta dan kecantikannya, kecuali dengan adil, karena biasanya mereka membenci kepada wanita-wanita yatim yang tidak memilki harta yang banyak dan tidak cantik."
Dengan demikian, jelaslah, dalam konteks poligami kehadiran Al-Qur'an tidak untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kehadiran Al-Qur'an adalah untuk mengatur praktik-praktik yang sudah ada baik yang menyangkut jumlah maupun persyaratan agar sesuai dengan semangat Islam yang melindungi harkat dan martabat manusia termasuk kaum wanita. Islam tidak menghapuskan atau melarang poligami, ia membiarkan praktik yang sudah berlangsung setua usia peradaban manusia dengan menggariskan dua aturan; dari segi jumlah Islam membatasi sampai maksimal 4 istri dan kemampuan berlaku adil dari sisi persyaratan. Hanya itu. Al-Qur'an dan sunnah tidak membuat persyaratan lebih dari itu. 


Oleh karenanya, baik sebelum atau pun ketika ‘ayat poligami' ini turun tidak ada kegemparan menyangkut poligami di masyarakat Islam saat itu. Semua berjalan normal dan nampak alami. Lihat saja bagaimana Umar bin Khattab RA menawarkan putrinya, Hafsah yang ditinggal mati suaminya kepada sahabatnya Abu Bakar RA padahal Umar tahu di rumah Abu Bakar sudah ada Ummu Ruman RA, mertua Rasulullah. Tidak ada ucapan keberatan ataupun protes dari para sahabat yang lain ataupun dari Rasulullah SAW bahwa tindakan Umar ini akan merusak rumah tangga Abu Bakar. Demikian pula ketika Ummu Salamah selesai masa iddahnya, Abu Bakar RA pernah meminangnya walaupun saat itu Abu Bakar sudah beristri. Pun, tidak ada keributan saat Khaulah binti Hakim mengusulkan agar Rasulullah menikahi Saudah dan ‘Aisyah dalam waktu yang bersamaan. Atau saat Maemunah binti Al-Harits menyerahkan dirinya pada Nabi untuk diperistri beliau, padahal di sisi Nabi sudah ada sepuluh wanita; delapan istri dan dua hamba sahaya. Tidak ada dalam catatan sejarah dalam kehidupan sahabat yang menjadikan poligami sebagai suatu masalah. 


Bahkan musuh-musuh Islam saat itu, baik dari kalangan musyrikin Quraisy, munafiqin di Madinah, Nasrani di Romawi dan kaum Majusi di Persia tidak pernah menjadikan syari'at poligami dan berpoligaminya Rasulullah sebagai bahan olok-olokan dan ejekan mereka. Mereka tidak pernah menyerang syari'at poligami yang diatur Islam dan dan tidak pula menyerang pribadi Nabi Muhammad SAW semata karena beliau mempunyai banyak istri. 


Jadi, sampai suatu saat di masa lalu, poligami bukan suatu masalah yang menjadi polemik yang menguras energi untuk dibahas. Poligami sungguh bukan masalah.
Oleh: Didin Amaruddin



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...