Dan Mereka Mulai Membenci Poligami
Tak ada yang tahu persis mulai kapan poligami kemudian menjadi sosok hantu yang menyeramkan. Di awalnya barangkali musuh-musuh Islam bertanggungjawab terhadap masalah ini. Setelah mereka menyadari bahwa umat Islam tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan fisik, mereka senantiasa mencari cara untuk menyerang Islam dengan mendiskreditkan ajaran dan syariat Islam, melempar keragu-raguan dan syubhat di sekitar hukum Islam serta menggambarkan dan menempelkan citra buruk pada diri Muhammad SAW.
Dan salah satu sisi aturan Islam yang mereka jadikan sasaran tembak untuk melekatkan citra buruk pada agama Islam adalah masalah poligami. Seorang sejarawan Eropa, Gustave Leboune secara jujur mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mengetahui adanya kebencian ataupun celaan orang Eropa terhadap peraturan apapun seperti celaan mereka terhadap peraturan poligami. Musuh-musuh Islam menggambarkan bahwa poligami adalah kebiadaban dan kejahatan seksual yang dilegalkan Islam kepada kaum Muslimin. Mereka juga menyerang sisi pribadi Rasulullah yang mempunyai banyak istri sebagai lelaki yang gila wanita dan haus seks.
Demikianlah musuh-musuh Islam secara sistematis dan terencana tidak henti-hentinya menanamkan dalam fikiran manusia seolah-olah poligami adalah tradisi dan syari'at baru dalam Islam dan seolah-olah hanya Muhammad SAW sendiri yang melakukan poligami. Di sini, sejarah seperti tidak ada.
Demikianlah musuh-musuh Islam secara sistematis dan terencana tidak henti-hentinya menanamkan dalam fikiran manusia seolah-olah poligami adalah tradisi dan syari'at baru dalam Islam dan seolah-olah hanya Muhammad SAW sendiri yang melakukan poligami. Di sini, sejarah seperti tidak ada.
Dalam perkembangan berikutnya tidak hanya musuh Islam yang melakukan serangan ini, tapi juga dari kalangan Muslim yang telah dicuci otaknya, biasanya mereka adalah murid orientalis yang silau dengan kemajuan barat. Atas nama modernisme, dan pembebasan wanita, mereka menggugat hukum-hukum Islam yang mengatur masalah wanita dan keluarga. Dari barisan ini dari generasi awal bisa dicatat nama-nama seperti Sayyid Ahmad Khan, Amir Ali, Qosim Amin, dan Thoha Husain. Adapun untuk saat ini bisa disebut nama-nama Amina Wadud dari Amerika Serikat, Fatima Mernissi dari Maroko, Hassan Rifaat, Taslima Nasreen dari Bangladesh, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak yang lainnya.
Isu-isu yang diusung adalah persamaan gender, hak asasi manusia, dan menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits agar lebih berpihak kepada perempuan. Meskipun kelompok yang disebut terakhir ini berbeda waktu dan zaman dengan kelompok yang disebut pertama, namun substansi ide yang diusung tetaplah sama yaitu penolakan poligami sebagai suatu bagian dari syari'at Islam. Dasar-dasar pemikiran, argumen dan logika-logika yang digunakan sesungguhnya tidak berbeda walau dikemas dengan kemasan baru, sehingga kesan bahwa mereka sesungguhnya hanya mengekor dari pendapat-pendapat yang sudah ada, tidak dapat dihindari.
Namun sepertinya tekanan terhadap poligami tidak berhenti di situ. Belakangan ini ada gejala beberapa kalangan yang selama ini dikenal publik sebagai da'i atau da'iyah bahkan aktivis dakwah mulai melontarkan pendapat-pendapatnya yang tidak proporsional terhadap poligami. Anshorie Fahmi yang konon sering memberikan ceramah agama di radio, menulis sebuah buku yang diberi judul ‘Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah Poligami, Kiat dan Solusi Islami Agar Suami Tak Berpoligami'.
Dari kalangan aktivis dakwah ada Cahyadi Takariawan atau Pak Cah yang menulis ‘Bahagiakan Diri dengan Satu Istri'. Walaupun saya kira tidak ada hubungan antara keduanya, namun kedua buku yang terbit nyaris bersamaan, mempunyai muatan yang kurang lebih sama. Kedua-duanya sama-sama berusaha memalingkan orang dari poligami. Hanya saja kalau Ansorie lebih terus terang dalam memasang judul bukunya dan berbicara kepada khalayak umum, Pak Cah lebih hati-hati memilih judul dan lebih dari itu sepertinya ia sedang berbicara kepada para aktivis dakwah, sehingga ada bagian-bagian yang ada di buku Pak Cah tapi tidak ada di buku Ansorie. Inilah salah satu sebab mengapa buku Pak Cah jauh lebih tebal.
Melalui bukunya itu, Pak Cah mencoba meyakinkan pembaca bahwa poligami itu menyakiti perasaan wanita, tindakan kedzaliman, pengkhianatan cinta, merusak hubungan keluarga, merepotkan, menguras waktu dan energi, merusak kebahagiaan keluarga, menambah beban bagi dakwah, pencitraan buruk bagi dakwah, dan oleh karenanya sebaiknya tidak dilakukan. Dari sisi pelaku, Pak Cah ingin mencitrakan bahwa mereka adalah orang yang tidak berkarya, ilmunya tekor, produktivitasnya rendah karena sibuk mengurusi keluarga, pendzalim, pengkhianat istri, perusak kebahagiaan keluarga, dan atribut-atribut negatif lainnya. Sebaliknya dia memuji dan mencitakan keluarga dengan satu istri sampai akhir hayatnya. "Saya tidak berlebih-lebihan, jika mengatakan betapa indahnya memiliki satu istri yang akan bersama-sama merentas jalan ke surga....Dengan satu istri akan terhindar dari keribetan, akan terhindar dari kecemburuan, dan beban permasahan yang berat."(halaman 117) Lalu, "Maka lihatlah, betapa indah hanya memiliki satu istri." (halaman 158)
Nikmati cinta baru Anda, bersama istri tercinta satu-satunya...
Selamat menikmati hari-hari baru Anda, cinta baru Anda, dengan istri setia, satu-satunya..."(halaman 267)
Demikian Pak Cah bertutur dan mempersuasi bahwa satu istri itulah yang paling utama, paling bahagia, dan paling indah.